terjemahan The Golden Bird dari Grimm's Fairy Tale (1812) karya Jacob Grimm (1785–1863) dan Wilhelm Grimm (1786–1859)
Alkisah, seorang raja memiliki taman indah yang di dalamnya berdiri sebatang pohon berbuah apel emas. Apel-apelnya senantiasa dihitung, dan setiap malam menjelang buah-buah itu masak satu di antaranya selalu menghilang. Karenanya raja sangat marah, dan memerintahkan tukang kebunnya berjaga di bawah pohon sepanjang malam. Tukang kebun itu pun menetapkan bahwa anak tertuanyalah yang akan berjaga; namun sekitar pukul 12 malam ia tertidur, dan dipagi harinya sebuah apel lagi menghilang. Lalu diperintahkanlah anak kedua untuk berjaga; di tengah malam ia tertidur juga, dan dipagi harinya sebuah apel lagi menghilang. Lalu anak ketiga menawarkan dirinya untuk berjaga namun awalnya tukang kebun itu tak membiarkannya, karena takut akan bahaya yang akan menghampiri anaknya: tapi bagaimanapun juga akhirnya ia setuju, anaknya itu lalu berbaring di bawah pohon untuk berjaga-jaga. Saat jam berdentang dua belas kali ia mendengar suara gemerisik di udara, dan seekor burung emas melayang; dengan sebuah apel di paruhnya, anak tukang kebun itu lalu melompat dan menembakkan anak panahnya. Tapi anak panah itu tak melukai burung itu sama sekali; hanya sehelai bulu yang terjatuh dari ekornya, lalu ia pergi menjauh. Maka bulu emas itu pun dibawa ke hadapan raja keesokan harinya, dan seluruh anggota dewan dipanggil. Semua orang setuju bahwa bulu itu lebih berharga dibandingkan seluruh harta di kerajaan; tapi raja berkata, “Sehelai bulu tak ada harganya bagiku, aku harus memiliki burung itu.”
Lalu anak tertua si tukang kebun pergi dan berpikir bahwa menemukan burung itu akan sangat mudah; dan saat ia pergi tak jauh, ia masuk ke hutan, dan di pinggir hutan ia melihat seekor rubah sedang terduduk; jadi ia mengambil panahnya dan bersiap-siap menembak. Lalu rubah itu berkata, “Jangan tembak aku, karena aku akan memberimu nasehat; aku tahu apa masalahmu, kamu ingin menemukan burung emas. Kamu akan sampai di pedesaan malam hari; ketika kamu di sana, kamu akan melihat dua penginapan yang berlawanan, yang satunya sangat bagus dan enak dilihat: jangan masuk ke sana, tapi bermalamlah di tempat yang satunya, walaupun bagimu akan tampak kumuh.” Tapi anak itu lalu berpikir, “Kok bisa binatang ini tahu masalahnya?” Maka ia pun menembakkan anak panahnya kearah rubah itu.Tapi ia kecolongan, dan rubah itu menggerakkan ekornya ke atas punggung dan lari ke dalam hutan. Lalu anak si tukang kebun itu melanjutkan perjalanannya, dan dimalam harinya ia sampai di satu desa dengan dua penginapan di sana; di dalam yang satunya ada orang yang sedang menyanyi, menari, dan berpesta; tapi yang satunya lagi tampak kumal, dan miskin. “Bodoh sekali aku,” kata si anak tukang kebun, “jika aku masuk ke rumah yang jorok dan meninggalkan tempat yang menyenangkan ini”; jadi masuklah ia ke penginapan yang bagus, makan dan minum dengan santai, dan melupakan burung emas, juga negerinya.
Waktu berlalu; anak tertua tak kunjung pulang, dan tak ada kabar yang terdengar tentangnya, anak kedua lalu pergi, dan hal yang sama terjadi juga padanya. Ia bertemu rubah, yang memberinya nasehat bijak; tapi sesampainya di dua penginapan, anak tertua yang berdiri di jendela tempat sebuah acara meriah sedang berlangsung, memanggilnya masuk; dan anak kedua itu pun tak mampu menahan godaan, ia masuk, dan lupa akan burung emas dan negerinya dengan cara yang sama.
Sekali lagi waktu berlalu, dan anak bungsu si tukang kebun juga ingin pergi menjelajahi luasnya dunia untuk mencari burung emas; namun ayahnya tak ingin mendengar hal yang sama, karena ia sangat menyayangi anaknya, dan takut peruntungan buruk mungkin menimpanya juga, menghalangi kepulangannya. Tapi bagaimanapun juga, akhirnya tukang kebun itu mengizinkan anaknya pergi, meski ia takkan lagi ada di rumah, dan begitu ia sampai di hutan, ia bertemu rubah, dan mendengar nasehat bijak yang sama. Namun ia berterimakasih pada si rubah, dan tak berbuat sama seperti yang kedua saudaranya lakukan; jadi rubah itu pun berkata, “Duduklah di atas ekorku, dan perjalananmu akan jadi lebih cepat.” Jadi duduklah ia, dan si rubah mulai berlari, dan mereka pergi jauh melewati ternak dan bebatuan sampai-sampai rambut mereka berbunyi dalam desau angin.
Saat mereka mencapai desa, anak itu mengikuti nasehat rubah, tanpa melirik lagi ia masuk ke penginapan yang kumuh dan beristirahat sepanjang malam dengan santai di sana. Paginya, si rubah datang lagi dan menjumpainya seperti awal perjumpaan mereka, dan berkata, “Lurus terus, hingga kamu sampai di istana, yang di luarnya ada pasukan pengawal yang sedang tidur: jangan menarik perhatian, tapi masuklah terus ke istana dan lewat terus sampai kamu masuk ke sebuah ruangan, yang di dalamnya ada burung emas yang bertengger di sangkar kayu; tapi jangan coba-coba mengeluarkan burung itu dari kandang jeleknya dan menaruh di tempat yang bagus, kamu bakal menyesal.” Lalu si rubah mengulurkan ekornya, dan si anak muda menungganginya, dan mereka pergi jauh melewati ternak dan bebatuan sampai-sampai rambut mereka berbunyi dalam desau angin.
Sebelum sampai di pagar istana si rubah telah menyelesaikan perkataannya: jadi anak itu pun masuk ke dalam dan menemukan ruangan di mana si burung emas digantung dalam sangkar kayu, dan di bawahnya ada sangkar emas, dan tiga buah apel yang telah hilang ada di sana. Lalu berpikirlah anak itu, “Pasti konyol jika membawa burung yang indah di kandang yang jelek,” jadi ia pun membuka pintu sangkar dan menaruh burung emas di dalam kandang emas. Namun burung itu malah mencicit keras hingga seluruh penjaga terbangun, dan anak itu dijadikan tawanan dan dibawa ke hadapan raja. Esok paginya pengadilan mengadilinya; dan setelah semua orang mendengar tentangnya, mereka menghukum mati anak itu, kecuali jika ia bisa membawakan seekor kuda emas yang berlari secepat angin kepada raja; dan jika ia bisa melakukannya, ia akan memiliki burung emas itu.
Jadi sekali lagi ia berangkat untuk perjalanannya, menggerutu, dan dalam putus asa, ketika tiba-tiba temannya si rubah bertemu dengannya, dan berkata, “Kamu lihat kan sekarang hasilnya tidak mendengarkan nasehatku. Bagaimanapun juga, aku masih akan menunjukkanmu cara menemukan kuda emas, itupun kalau kamu mendengarkan perintahku. Kamu harus jalan terus sampai menemukan istana di mana seekor kuda sedang berdiri di istalnya: di dekatnya ada tukang sapu yang cepat mengantuk dan mendengkur: ambil kudanya pelan-pelan, tapi jangan lupa taruh sadel kulit ke kudanya, bukan yang emas di dekatnya.” Lalu anak itu pun duduk di ekor rubah, dan mereka pergi jauh sampai-sampai rambut mereka berbunyi dalam desau angin.
Semua hal berjalan dengan baik, dan si tukang sapu tertidur dengan tangan memegang sadel emas. Tapi saat anak itu melihat ke kuda emas, ia pikir kasihan jika menaruh sadel kulit ke kuda itu. “Kukasih yang lebih bagus deh,” katanya; “Aku yakin ia pantas menerima ini.” Ketika ia mengambil sadel emas si tukang sapu tadi terbangun dan berteriak begitu keras, semua penjaga berlari ke dalam dan menjadikannya tahanan, dan esok paginya lagi-lagi ia dibawa ke pengadilan untuk diadili, dan dihukum mati. Tapi untuk persetujuannya, jika ia bisa membawa seorang putri cantik ke sana, dia bisa hidup, dan kuda emas itu diberikan padanya.
Lalu ia pergilah dengan penuh penyesalan; namun si rubah tua datang dan berkata, “Kenapa kamu tak mendengarkanku? Kalau kamu dengarkan, kamu kan sudah punya burung dan kudanya sekaligus; tapi aku akan kasih nasehat sekali lagi. Jalan saja terus, dan malamnya kamu akan sampai di istana. Jam 12 malam putri akan pergi ke pemandian: datangi dan ciumlah ia, dan dia akan membiarkanmu membawanya pergi tapi jangan kamu sakiti dia dan jangan biarkan ia pamit pada ibu dan ayahnya.” Lalu si rubah mengulurkan ekornya dan mereka pergi jauh sampai-sampai rambut mereka berbunyi dalam desau angin.
Ia pun sampai di istana, persis seperti yang dikatakan rubah, dan pukul 12 malam pemuda itu bertemu putri di pemandian dan menciumnya, dan putri itu setuju untuk kabur dengannya, tapi ia memohon dengan penuh air mata agar pemuda itu membiarkannya pamit pada ayah dan ibunya. Awalnya ia menolak, tapi sang putri menangis dan terus menangis, dan terjatuh di kaki pemuda itu, hingga akhirnya ia setuju; tapi saat ia datang ke kamar ayahnya penjaga terbangun dan ia dijadikan tahanan lagi.
Lalu ia dibawa menghadap raja, dan raja berkata, “Kamu tak akan pernah memiliki putriku kecuali jika dalam delapan hari kamu bisa menggali bukit yang tampak dari jendela kamarku.” Bukit itu begitu besar hingga seluruh dunia pun nggak bisa menanggungnya jika digali: lalu pemuda itu pun bekerja dalam tujuh hari, dan yang ia selesaikan masih sangat sedikit, rubah lalu datang dan berkata. “Berbaring dan tidurlah; aku akan mengerjakannya untukmu.” Dipagi harinya ia terbangun dan bukit itu telah lenyap; jadi dengan bahagia ia menemui raja, dan bilang jika ia telah menghilangkan bukitnya jadi raja itu harus menyerahkan putrinya.
Seorang raja harus menepati janjinya, dan pergi jauhlah pemuda itu dengan sang putri; si rubah datang dan berkata padanya, “Kita akan memiliki ketiga-tiganya, putri, kuda, dan burung” “Ah!” kata pemuda itu, “itu menyenangkan, tapi bagaimana bisa kamu mengusahakannya?”
“Hanya jika kamu mendengarkan,” kata si rubah, “ini bisa diselesaikan. Saat kamu mendatangi raja, dan ia menanyakan putri cantik ini, kamu harus bilang, ‘Ini dia!’ lalu dia akan senang dan kamu akan menunggang kuda yang mereka berikan padamu, ulurkan tanganmu untuk menyentuh mereka; tapi yang terakhir kamu pegang tangan putri. Lalu angkat dia cepat-cepat ke atas kuda di belakangmu; pukul pecutannya, dan menungganglah secepat yang kamu bisa.”
Semua hal berjalan dengan lancar: lalu rubah pun berkata, “Saat kamu datang ke istana tempat burungnya berada, aku akan menunggu bersama putri di pintu, dan kamu akan masuk ke dalam dan bicara pada raja; dan saat ia melihat kudanya, dia akan bawa burungnya keluar; tapi kamu harus tetap duduk, dan bilang kalau kamu mau lihat, apa itu benar-benar burung emas; saat kamu menerimanya di tanganmu, menungganglah.”
Ini, juga terjadi seperti perkataan si rubah; mereka membawa kabur burungnya, menunggang bersama putri, dan mereka berkuda ke hutan yang besar. Saat rubah datang, ia berkata, “Kumohon bunuh aku, penggallah kepalaku dan kakiku.” Tapi pemuda itu menolak melakukannya: lalu si rubah berkata, “Aku akan memberimu nasehat lagi: hati-hatilah pada dua hal; abaikan siapapun saat berkuda dan jangan duduk di pinggir sungai.” Lalu ia pun pergi. “Baiklah,” pikir pemuda itu, “nggak sulit mengikuti nasehatnya.”
Pemuda itu berkuda dengan sang putri, hingga akhirnya ia sampai ke desa di mana kedua saudaranya tinggal. Di sana ia mendengar suara bising dan hingar-bingar; dan saat ia bertanya ada apa, orang-orang berkata, “Dua orang pemuda akan digantung.” Saat ia mendekat, ia melihat dua pria yang tak lain adalah saudara-saudaranya, yang telah berubah menjadi rampok; jadi ia pun berkata “Tak adakah cara menyelamatkan mereka?” Tapi orang-orang berkata ‘Tidak,’ kecuali jika ia bisa memberikan semua uangnya ke orang-orang brengsek itu dan membeli kebebasan mereka. Ia tak berpikir lama, tapi membayar sebanyak yang diminta, dan saudara-saudaranya pun menyerah, dan pergi bersamanya kembali ke rumah.
Saat mereka mencapai hutan tempat mereka pertama kalinya bertemu dengan rubah, keadaannya sejuk dan menyenangkan lalu kedua saudaranya berkata, “Ayo kita duduk di pinggir sungai, dan istirahat sejenak, makan dan minum.” Jadi ia pun berkata, “Ya,” dan lupa pada nasehat rubah, dan duduk di pinggir sungai, dan saat ia tak mencurigai apapun, kedua saudaranya datang dari belakang, melemparkannya ke sungai, membawa putri, kuda, dan burung, dan pulang ke rumah menghadap tuan mereka, sang raja, dan berkata, “Semua ini kami dapatkan dengan susah payah.” Lalu diadakanlah sebuah perayaan besar; tapi kudanya tak mau makan, burungnya tak mau bernyanyi, dan sang putri hanya menangis.
Anak bungsu si tukang kebun terjatuh ke bantaran sungai, untungnya di sana kering, tapi tulangnya hampir patah, dan sungai itu sangat curam sehingga ia tak menemukan jalan keluar. Lalu si rubah tua pun datang sekali lagi, dan tak mengomelinya dengan nasehat; sebaliknya tak ada kemarahan yang dijatuhkan padanya: “Belum,” kata rubah itu, “Aku tak bisa meninggalkanmu di sini, jadi pegangan yang eratlah di ekorku.” Lalu ia menarik pemuda itu keluar dari sungai, dan berkata padanya, begitu ia keluar dari sungai, “Saudara-saudaramu berniat ingin membunuhmu, jika mereka menemukanmu di kerajaan.” Jadi pemuda itu pun berpakaian seperti orang miskin, dan datang diam-diam ke beranda sang raja, dan sayup-sayup dalam pintu kudanya pun mulai makan, burung mulai bernyanyi dan sang putri berhenti menangis. Lalu ia menghadap raja, dan menceritakan semua kelakuan saudara-saudaranya; mereka pun ditangkap dan dihukum, dan sang putri diserahkan kembali padanya; dan setelah sang raja meninggal pemuda itu mewarisi seluruh kekayaannya.
Lama setelah itu, suatu hari pemuda itu berjalan-jalan di hutan, dan si rubah tua bertemu dengannya lagi, dan memohon padanya dengan air mata agar ia dibunuh, kepala dan kakinya dipenggal. Dan akhirnya pemuda itu melakukannya, dan dalam sekejap rubah itupun berubah menjadi seorang pria, berubah menjadi saudara laki-laki sang putri, yang telah hilang bertahun-tahun lamanya.
---
Assalamu'alaikum, maaf kalau boleh tau, siapa nama penerjemahnya ini?
ReplyDeleteMohon izin untuk saya jadikan objek penelitian saya,? Bolehkah min?
ReplyDeleteHalo kak, saya penerjemah cerita di atas. Jika ingin menanyakan info pribadi penerjemah silakan kontak ke surel yang ada di halaman ini ya kak. -> http://kubukakamus.blogspot.co.id/p/kenapa-kubuka-kamus.html Terima kasih :)
Delete